Pemanfaatan tenaga angin
sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru dalam sejarah peradaban. Sudah
berabad-abad lamanya, manusia menggunakan angin sebagai tenaga penggerak kapal
yang dipakai untuk mengarungi samudera dan menjelajah semesta. Konon, pada abad
ke-17 SM, bangsa Babilonia kuno pun sudah menggunakan tenaga angin untuk sistem
irigasi.
Turbin
angin pertama sebagai pembangkit listrik berupa sebuah kincir angin tradisional
dibuat oleh Poul La Cour di Denmark lebih dari 100 tahun yang lalu. Kemudian
pada awal abad ke-20 mulai ada mesin eksperimen untuk turbin angin.
Pengembangan lebih serius dilakukan pada saat terjadi krisis minyak di era
1970-an dimana banyak pemerintah di seluruh dunia mulai mengeluarkan dana untuk
riset dan pengembangan sumber energi baru atau energi alternatif. Diawal 80-an
terlihat pengembangan utama dilakukan di California dengan pembangunan ladang
PLTB dengan ratusan turbin kecil. Sehingga sampai akhir dekade tersebut, sudah
dibangun 15.000 turbin angin dengan kapasitas pembangkit total sebesar 1.500 MW
di daerah itu. Di era 80-an tersebut juga diikuti pemangkasan subsidi
pemerintah untuk dana pengembangan turbin angin ini.
Di
Denmark, pemerintah tetap mendukung secara kontinu serta tetap mengawal
pengembangan teknologi turbin angin ini. Akibatnya, teknologi dasar mereka
tetap terpelihara dan tidak menghilang. Sehingga pada saat energi angin kembali
menguat diawal 90-an, banyak perusahan yang bergerak dibidang ini mampu
merespon dengan cepat dan hasilnya mereka mampu mendominasi pasar hingga saat
ini.
Sebagian
besar ladang turbin angin yang terpasang masih di daratan. Hasil studi yang
diadakan hingga akhir tahun 2002, kapasitas total terpasang untuk turbin angin
darat berkisar 24 Giga Watt (GW) dan dipasang lebih dari 3 tahun terakhir. Lalu
instalasi pertahunnya telah mencapai 4 GW. Saat ini laju rata-rata turbin
terpasang secara internasional sudah mendekati 1 MW per unit. Dengan
keberhasilan pengembangan dalam skala yang ekonomis tersebut, saat ini energi
angin sudah mampu bersaing dengan pembangkit listrik lainnya seperti batubara
maupun nuklir untuk daerah dimana banyak potensi angin.
Perkembangan
teknologi tenaga angin di Indonesia dirintis oleh Ridho Hantaro, ST.MT pilot
proyek sederhana bertemakan “renewable energy” hingga memenangkan “Brits Award
for Poverty Alleviation 2006″. Proyek ini adalah pembuatan turbin angin
pembangkit listrik di pulau Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Turbin
angin berdiameter rotor 4 meter dengan 6 buah daun alumunium ini mampu
menghasilkan daya hingga 1 KW dengan tiang penopang setinggi 8 meter.
Prinsip Kerja Umum (Proses
Fisika/Kimia) dari PLTB
Pada dasarnya
turbin-turbin angin menggunakan prinsip sederhana untuk menghasilkan listrik.
Turbin angin bekerja berlawanan dengan kipas angin. Kipas angin menghasilkan
angin dari arus listrik, sedangkan turbin-turbin angin menghasilkan arus
listrik dari angin.
Awalnya angin yang
berhembus memutar baling-baling, di mana baling-baling ini berhubungan dengan
rotor pada generator penghasil listrik. Arus listrik yang dihasilkan ini
kemudian didistribusikan ke rumah-rumah, pusat bisnis, sekolah, dan tempat-tempat
lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Turbin-turbin angin
modern terbagi menjadi dua kelompok dasar :
1.
Sumbu horizontal
Turbin yang paling
umum digunakan. Turbin angin jenis ini memiliki sudu yang berputar dengan arah
vertikal seperti propeler pesawat terbang. Turbin angin biasanya memiliki sudu
dengan bentuk irisan melintang khusus di mana aliran pada salah satu sisinya
dapat bergerak lebih cepat dari aliran udara di sisi lain pada saat angin
berhembus melaluinya. Fenomena ini menimbulkan daerah tekanan rendah pada
belakang sudu dan dan daerah tekanan tinggi di depan sudu. Perbedaan tekanan
ini yang menghasilkan gaya dan menyebabkan sudu berputar.
2.
Sumbu vertikal
Turbin angin jenis ini
menggunakan prinsip kerja yang sama dengan sumbu horizontal. Akan tetapi,
sudunya berputar dalam bidang yang paralel dengan tanah, seperti mixer kocokan
telur.
Pada umumnya, turbin
yang memiliki jumlah baling-baling yang banyak akan memiliki torsi yang besar. Turbin
angin jenis ini banyak digunakan untuk keperluan mekanikal seperti untuk
pemompaan air, pengolahan hasil pertanian, dan aerasi tambak. Sedangkan turbin
angin dengan baling-baling sedikit, digunakan untuk pembangkit tenaga listrik.
Turbin angin jenis ini memiliki torsi yang kecil tetapi putaran rotor yang
tinggi.
Platform PLTB
Pada pembangkit listrik
tenaga angin, terdapat 6 komponen penting yang harus dimiliki oleh suatu
pembangkit listrik tenaga bayu. Yaitu turbin, gearbox, generator, rectifier,
DC-DC converter, baterai. Terdapat komponen-komponen lain yang sebaiknya
dimiliki oleh suatu turbin yaitu yaw gear dan anemometer. Kedua komponen ini
digunakan untuk pengaman pada suatu turbin agar tahan lama dan tidak mudah
rusak.
Turbin merupakan sumber
energi masuk dari pembangkit energi ini. Angin menggerakkan turbin, yang akan
memberikan suatu energi putaran. Turbin yang dibentuk harus dibuat sedemikian
rupa sehingga energi putaran yang dihasilkan akan konstan. Kecepatan putaran
yang konstan akan menyebabkan energi yang dihasilkan oleh suatu turbin
akan konstan juga. Menurut penelitian,
agar kecepatan putaran tetap konstan, sebaiknya menggunakan turbin yang
memiliki 3 sudu. Jika sudu terlalu sedikit, maka putaran akan lambat. Namun,
jika sudu terlalu banyak, maka putaran turbin akan cepat. Putaran turbin yang
terlalu cepat akan mengakibatkan turbin memberi angin kepada angin masuk,
sehingga kemungkinan kecepatan turbin akan tidak konstan dan menghasilkan
energi yang tidak konstan. Kondisi ini sangat tidak diinginkan, karena bisa
mempengaruhi daya tahan dari suatu pembangkit listrik tenaga bayu.
Gearbox merupakan
komponen yang berguna untuk mengatur besar energi yang masuk. Gearbox merupakan
komponen yang serupa dengan perseneling pada mobil. Pembangkit listrik tenaga
angin sangat membutuhkan gear box karena pada pembangkit listrik tenaga angin,
variabel penghasil energi yang dapat dikendalikan adalah kecepatan putaran
generator. Dengan menggunakan gear box, kita bisa mengubah kecepatan turbin
yang terlalu lambat menjadi cepat atau sebaliknya. Dengan gearbox kita bisa
menghasilkan energi yang sesuai dengan kita inginkan. Biasanya, PLTB
menggunakan gearbox jenis planetari. Gearbox jenis ini dibutuhkan karena
gearbox jenis ini dapat meningkatkan efisiensi dan leih mudah dipergunakan
dibanding gearbox jenis lainnya.
Generator menghasilkan
energi listrik dengan mengubah energi kinetik dari torsi gearbox menjadi energi
listrik. Ada 2 jenis generator, yaitu vertical axis dan horizontal axis.
Penggunaan generator bergantung pada besar turbin, jika kecil sebaiknya
menggunakan vertical axis dan jika turbinnya besar sebaiknya menggunakan
generator horizontal axis.
Rectifier merupakan
AC-DC converter. Komponen ini dibutuhkan karena arus DC lebih mudah diatur
besarnya pada DC-DC converter.
DC-DC converter
merupakan suatu transistor sebagai electronic switch yang
dapat dibuka (off) dan ditutup (on). Dengan asumsi bahwa switch tersebut ideal,
jika switch ditutup maka tegangan keluaran akan sama dengan tegangan masukan,
sedangkan jika switch dibuka maka tegangan keluaran akan menjadi nol. Dengan
demikian tegangan keluaran yang dihasilkan akan berbentuk pulsa. Tegangan keluaran DC dapat diatur besarannya dengan
menyesuaikan parameter D. Parameter D dikenal sebagai Duty ratio yaitu
rasio antara lamanya waktu switch ditutup (ton) dengan perioda
T dari pulsa tegangan keluaran. Parameter f adalah frekuensi peralihan
(switching frequency) yang digunakan dalam mengoperasikan switch. Berbeda
dengan tipe linier, pada tipe peralihan tidak ada daya yang diserap pada
transistor sebagai switch. Ini dimungkinkan karena pada waktu switch ditutup
tidak ada tegangan yang jatuh pada transistor, sedangkan pada waktu switch
dibuka, tidak ada arus listrik mengalir. Ini berarti semua daya terserap pada
beban, sehingga efisiensi daya menjadi 100%. Namun perlu diingat pada
prakteknya, tidak ada switch yang ideal, sehingga akan tetap ada daya yang
hilang sekecil apapun pada komponen switch dan efisiensinya walaupun sangat
tinggi, tidak akan pernah mencapai 100%.
Battery merupakan komponen yang dibutuhkan untuk memaksimalkan fungsi kerja
PLTB. Arus dari DC-DC generator masuk ke baterai untuk disimpan. Jika arus
terlalu kecil, maka akan disimpan di baterai. Jika arusnya terlalu besar, maka
listrik akan disalurkan menuju jala-jala listrik setelah beberapa disimpan pada
baterai. Baterai ini masih mahal pada masa-masa sekarang, harganya masih
sekitar 3 juta dollar per megawatt.
Yaw gear merupakan komponen yang dibutuhkan untuk menggerakkan turbin PLTB
menghadap ke atas. Pada saat turbin terlalu cepat berputar, terdapat suatu
sistem keamanan yang harus dilakukan agar PLTB tidak rusak. Pertama-tama,
dilakukan pengaturan gearbox, lalu kedua dengan membuat turbin menghadap ke
atas, yang ketiga dilakukan jika sudah terlalu parah kecepatannya yaitu dengan
rem. Anemometer hanyalah suatu piranti yang dibutuhkan untuk mengkur kecepatan
angin.
Perkembangan
Teknologi PLTB
Turbin
angin pertama sebagai pembangkit listrik berupa sebuah kincir angin tradisional
yang dibuat oleh Poul La Cour di Denmark lebih dari 100 tahun yang lalu.
Kemudian pada awal abad ke-20 mulai ada mesin eksperimen untuk turbin angin.
Pengembangan lebih serius dilakukan pada saat terjadi krisis minyak di era
1970-an dimana banyak pemerintah diseluruh dunia mulai mengeluarkan dana untuk
riset dan pengembangan sumber energi baru atau energi alternatif. Diawal 80-an
terlihat pengembangan utama dilakukan di California dengan pembangunan ladang
PLTB dengan ratusan turbin kecil. Sehingga sampai akhir dekade tsb sudah
dibangun 15.000 turbin angin dengan kapasitas pembangkit total sebesar 1.500 MW
di daerah itu. Di era 80-an tsb juga diikuti pemangkasan subsidi pemerintah
untuk dana pengembangan turbin angin ini. Maka banyak perusahaan turbin angin
mulai gulung tikar.
Saat
ini angin sebagai sebuah sumber energi telah dan sedang tumbuh dengan laju
cukup tinggi. Rata-rata pertahun mencapai 25%. Hal ini menjadikannya sebagai
satu sumber energi dengan laju pertumbuhan tercepat didunia sejak tahun 1990.
Lima pasar tersebar untuk energi angin saat ini adalah negara Jerman, Spanyol, USA, Denmark dan India. Dengan
begitu saat ini energi angin memiliki daya saing ekonomis, ditambah lagi
sifatnya yang tidak menimbulkan solusi sangatlah menjanjikan sebagai sumber
energi alternatif era milenium.
Selain
turbin angin dipasang didaratan, sudah banyak pula ladang turbin angin lepas
pantai yang dibangun diperairan dangkal seperti di wilayah negara-negara Eropa.
Dekade ini, di USA dan Kanada juga dikembangkan beberapa PLTB lepas pantai di
perairan Massachusetts. Di Jepang, kapasitas turbin angin di darat mengalami
peningkatan cukup besar. Wilayah Jepang berupa perairan lepas pantai laut dalam
maka diperlukan konsep lain. Dari sinilah muncul konsep turbin angin lepas
pantai laut dalam yang diadopsi dari konsep teknologi anjungan dalam bidang
MIGAS. Di Amerika sumber-sumber angin banyak dijumpai di sebagian wilayahnya
baik dengan potensi sedang hingga besar. Hal ini menyebabkan tenaga angin
menjadi sebuah pemasok tenaga listrik potensial dan layak untuk keperluan
sehari-hari misalnya turbin angin kecil yang berkapasitas di bawah 100 KW sudah
dapat digunakan untuk keperluan skala rumah tangga, ladang-ladang dan kebun,
peternakan, perusahaan kecil dan juga untuk keperluan telekomunikasi. Sistem
ini bisa dipergunakan secara mandiri diluar sistem jaringan listrik yang biasa
disebut aplikasi mandiri atau luar jaringan. Contohnya sistem pembangkit
kombinasi angin-diesel luar jaringan di daerah terpencil seperti Alaska. Terbukti
mampu meningkatkan kehandalan sistem dan sekaligus menurunkan ongkos kirim
bahan bakar.
Sementara
itu kategori turbin angin besar kapasitas 100 KW sampai 2 MW. Gabungan dari
puluhan hingga ratusan turbin besar ini dapat dihubungkan dengan sistem jaringan
listrik untuk menyuplai energi listrik untuk sebuah komunitas atau daerah yang
lebih besar atau luas. Karena PLTB merupakan energi bersih yang ramah
lingkungan maka tak mengherankan kalau saat ini bila jumlah ladang angin di USA
makin bertambah banyak. Dengan demikian selain tenaga angin telah mampu
berperan dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik dengan menghasilkan jenis
energi bersih. Juga potensial untuk turut memperkuat ekonomi dengan menciptakan
lapangan kerja baru dalam bidang energi angin ini. Disamping itu keberadaannya
akan makin memperkuat ketahanan energi dengan menyediakan sumber energi
domestik yang handal dan mandiri.
Potensi
Energi PLTB di Dunia dan Indonesia
Kebutuhan akan energi listrik semakin berkembang di kehidupan masyarakat sehari-hari. Potensi energi bayu/angin adalah salah satu sumber energi
alternative yang ramah lingkungan yang dapat dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan akan energi
listrik. Permasalahannya adalah tidak semua daerah-daerah di dunia, khususnya daerah-daerah
di Indonesia, memiliki potensi energi angin.
Pada
saat ini, di beberapa daerah di dunia ditemukan potensi angin dengan kecepatan
tinggi, yakni 6,9 m/detik. Daerah-daerah yang memiliki potensi besar tersebut
berada di Eropa Utara (sepanjang Laut Utara), Amerika selatan dan Australia
bagian Tasmania. Amerika Utara, yang memiliki potensi kecepatan angin yang
paling tinggi, memiliki kecepatan angin yang paling konsisten berada di daerah Great Lakers dan angin laut sepanjang
pantainya. Berdasarkan penelitian para ahli, angin berhembus dengan kecepatan
8,6 m/detik di atas lautan dan mendekati 4.5 m/detik ketika mencapai daratan.
Sebenarnya,
hingga saat ini, Indonesia belum memiliki peta komprehensif mengenai informasi
daerah-daerah mana saja yang memiliki potensi besar untuk menghasilkan listrik. Hal ini dikarenakan
biaya yang dibutuhkan untuk pengembangannya sangat mahal, mencapai miliaran
rupiah.
Sementara ini,
berdasarkan hasil pemetaan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional)
di 120 lokasi yang ada di Indonesia, didapatkan beberapa daerah yang memiliki
kecepatan angin di atas 5 m/detik. Daerah-daerah tersebut adalah Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Pantai Selatan Jawa. Angin
dengan kecepatan ini tergolong berskala menengah dengan potensi kapasitas 10
hingga 100 kW.
Meskipun demikian,
dengan kecepatan angin yang umumnya di bawah 5,9 m/detik secara ekonomi kurang
layak untuk membangun pembangkit listrik. Hal ini disebabkan, ketika
dibandingkan, biaya yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga
bayu/angin ini lebih besar dari hasil yang bisa didapatkan ketika pembangkit
listrik ini dijalankan. Tetapi, bukan berarti pembangkit listrik tenaga
bayu/angin ini tidak bermanfaat, butuh penelitian lebih lanjut untuk
memaksimalkan potensi energi ini.
Di seluruh daerah
Indonesia, lima unit kincir angin pembangkit berkapasitas masing-masing 80 kW
sudah dibangun. Pada tahun 2007, tujuh unit dengan kapasitas sama menyusul dibangun di empat
lokasi, masing-masing di Pulau Selayar tiga unit, Sulawesi Utara dua unit, dan
Nusa Penida, Bali, serta Bangka Belitung, masing-masing satu unit.
Potensi Peluang Implementasi di Indonesia
Berdasarkan data dari ESDM Indonesia yang memiliki
pantai sepanjang 80.791,42 km merupakan wilayah potensial untuk pengembangan
PLTB. Kecepatan angin di Indonesia secara umum antara 4 m/detik hingga 5
m/detik. Di daerah pantai kecepatan
anginnya dapat mencapai 10 m/detik. Dengan kecepatan tersebut, pembangunan
pembangkit listrik tenaga angin masih kurang ekonomis. Namun, jika dibangun
dengan ketinggian tertentu dan diameter baling-baling yang besar dapat
dihasilkan energi listrik dengan potensi kapasitas 10-100 kW.
Selain memiliki garis pantai yang sangat besar,
Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau (data dari Indonesian Naval Hydro
Oceanographic Office) dan pada kenyataannya operasional PLN tidak sanggup
membiayai pemasangan listrik hingga ke pulau-pulau terpencil seperti Sapeken,
maka teknologi sederhana seperti ini tentu sangat tepat untuk dikembangkan dan
dijalankan. Oleh karena itu, sebenarnya implementasi PLTB di Indonesia sangat
dibutuhkan, karena daerah pulau pulau yang terpencil di Indonesia yang tidak
bisa terjangkau listrik PLN umumnya merupakan daerah pantai dan pas untuk PLTB.
Namun secara komersil, PLTB memang harus memenuhi
beberapa syarat, syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Lokasi PLTB memiliki kecepatan angin rata-rata tahunan yang cukup (>5
m/detik) dan konsisten sepanjang tahun.
2.
Demand (kebutuhan) energi yang masih
kurang di lokasi tersebut.
3.
Jangkauan terhadap jaringan distribusi
(grid) listrik tidak terlampau jauh.
4.
Harga teknologi yang kompetitif.
5.
Harga beli listrik oleh pengguna (dalam
hal ini PLN) yang tepat.
6.
Tersedianya infrastruktur pendukung yang
memadai di sekitar lokasi.
Jika hanya mengandalkan harga beli PLN berkisar di Rp. 650 per
kwh, komersialitas tidak akan pernah tercapai. Karena jika menggunakan
teknologi PLTB dari Eropa yang biayanya memakan US$ 1,9 juta (+/- 19
Milyar Rupiah) per MW turbin terinstal, IRR (Internal Rate of Return) yang
diharapkan jelas di bawah 10% saja. Sedangkan jika memakai jika menggunakan
teknologi PLTB dari Cina yang biayanya memakan US$ 1,5 juta (+/- 15 Milyar
Rupiah) per MW turbin terinstal, IRR yang diharapkan baru mencapai 10% , hal
ini masih jauh dari komersialitas yang diharapkan.
Tentunya untuk mencapai IRR sekitar 18% atau lebih yang komersial,
harga beli PLN harus berada di kisaran angka Rp 950,- s/d Rp 1050,- per kwh,
ini pun hanya dicapai jika menggunakan teknologi PLTB dari Cina yang harganya
lebih kompetitif.
Implementasi nyata PLTB di Indonesia dapat dilihat pada tahun 2009, kapasitas terpasang dalam
sistem konversi energi angin di seluruh Indonesia mencapai 1,4 MW (WWEA 2010)
yang tersebar di Pulau Selayar (Sulawesi Utara), Nusa Penida (Bali),
Yogyakarta, dan Bangka Belitung. Melihat potensi wilayah pantai yang cukup
luas, pemanfaatan tenaga angin sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia
sangat mungkin untuk dikembangkan lebih lanjut.
Pengontrolan Instrumentasi
Pengontrolan instrumentasi
yang diterapkan pada pembangkit listrik tenaga angin adalah :
1. Cut
out speed
Adakalanya saat turbin berputar
dengan terlalu cepat dari kecepatan turbin maksimal. Disaat ini angin yang
melalui turbin justru malah ditolak oleh turbin. Sehingga turbin mengalami
perlambatan kecepatan sehingga energi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik
lebih rendah dari energi optimum yang dapt dihasilkan.
Oleh karena itu, pengontrolan
kecepatan angin diperlukan dengan cara cut out speed. Pengertian cut out speed
ialah kecepatan dimana turbin angin akan mengurangi kekuatatannya untuk
melindungi dirinya dari kecepatan angin yang berlebih. Kebanyakan pada turbin
angin kecil hal ini dilakukan dengan cara memasang ekor sehingga dapat mengelak
dari angin.
2. Cut
in speed
Pembangkit listrik tenaga turbin
memiliki syarat kecepatan minimum untuk dapat menghasilkan energi. Adakalanya
pada saat tertentu, kecepatan angin terlalu rendah untuk dapat memutar turbin
yang dapat menghasilkan energi. Walaupun pembangkit listrik sudah dipasang di
daerah yang memiliki potensi angin baik.
Oleh karena itu, pengontrolan
instrumentasi diperlukan dengan cara cut in speed. Cut in speed ialah
penambahan kecepatan perputaran turbin. Dengan cara ini pembangkit listrik
tenaga angin dapat dipertahankan energi optimumnya.
Estimasi
Biaya Investasi Turbin Angin PLTB
1)
Turbin angin sumbu horizontal (kapasitas kurang dari 1 MWe). Instalasi PLTB
berkapasitas 10 kW dengan asumsi kecepatan angin di atas 7 m/ detik dan faktor
kapasitas 20% membutuhkan biaya investasi sebesar 1.500 dolar Amerika per kWe
dan biaya pembangkitan sebesar 1 sen dolar Amerika per kWh.
2)
Turbin angin sumbu vertikal untuk kecepatan angin di bawah 7 m/ detik dengan
faktor kapasitas kurang dari 30% membutuhkan biaya investasi sebesar
2.500-3.200 $ per kWe.
Potensi PLTB di Indonesia
Energi angin merupakan
salah satu potensi energi terbarukan yang dapat memberikan kontribusi
signifikan terhadap kebutuhan energi listrik domestik, khususnya wilayah
terpencil. Pembangkit energi angin yang biasa disebut Pembangkit Listrik Tenaga
Bayu (PLTB) ini bebas polusi dan sumber energinya yaitu angin tersedia di mana
pun, maka pembangkit ini dapat menjawab masalah lingkungan hidup dan
ketersediaan sumber energi.
Berdasarkan data Blueprint
Energi Nasional, Departemen ESDM RI, dapat dilihat
bahwa potensi PLTB di Indonesia sangat menarik untuk dikembangkan karena dari
potensi sebesar 9,29 GW, baru sekitar 0,5 GW yang dikembangkan, yang berarti
baru sekitar 5,38%. Secara implisit, hal ini menyiratkan bahwa jumlah
penelitian dan jumlah peneliti yang tertarik mengembangkan teknologi ini masih
sangat sedikit. Prospek pengembangan teknologi ini masih sangat tinggi. Beberapa daerah di Indonesia yang memiliki
potensi pengembangan PLTB antara lain NTB, NTT, Maluku, dan wilayah-wilayah Indonesia
bagian timur lainnya. Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kecepatan
angin rata-rata sekitar 4 m/s, kecuali di daerah-daerah yang disebutkan di
atas. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mengukur kecepatan angin di
Indonesia Timur dan menyimpulkan daerah dengan kecepatan angin tinggi adalah
Nusa Tenggara Barat dan Timur dan Sulawesi. Kupang merupakan lokasi dengan
potensi paling besar karena memiliki kecepatan angin sebesar 5,5 m/detik.
Oleh sebab itu, PLTB yang cocok dikembangkan
di Indonesia adalah pembangkit dengan kapasitas di bawah 100 kW. Tentu saja ini
berbeda dengan Eropa yang berkonsentrasi untuk mengembangkan PLTB dengan
kapasitas di atas 1 MW atau lebih besar lagi untuk dibangun di lepas pantai. Namun melihat potensi wilayah pantai di
Indonesia yang cukup luas, pemanfaatan tenaga angin sebagai sumber energi
terbarukan di Indonesia sangat mungkin untuk dikembangkan lebih lanjut.
Berdasarkan data implementasi Energi Baru
Terbarukan (EBT) di tahun 2009, kapasitas PLTB di Indonesia baru mencapai 3 MW.
Padahal total potensi daya dari energi angin di Indonesia mencapai 9,29
GigaWatt (GW) atau 46,1 juta setara barel minyak (SBM).
Oleh karena itu, dalam RIPEBAT di tahun 2010, PLTB diharapkan meningkat 4 MW, di tahun 2015 sebesar 40 MW, menjadi 128 MW di tahun 2020 dan pada tahun 2025 ditargetkan 256 MW.
Oleh karena itu, dalam RIPEBAT di tahun 2010, PLTB diharapkan meningkat 4 MW, di tahun 2015 sebesar 40 MW, menjadi 128 MW di tahun 2020 dan pada tahun 2025 ditargetkan 256 MW.
Peta jalan pengembangan PLTB yang dikeluarkan
Kementrian ESDM menargetkan dibangunnya instalasi berkapasitas total 256 MW,
baik tersambung dengan jaringan listrik ataupun tidak pada tahun 2025. Saat ini
LAPAN, bersama dengan Institut Teknolog Bandung (ITB) tengah mengembangkan
Sistem Konversi Energi Angin (SKEA) berdasarkan rotor Savonius dan Windside.
Sistem ini telah berhasil membuat system berukuran 50 kW dan tengah melakukan
penelitian dan pengembangan untuk turbin berkapasitas 300 kW.
Masalah utama dari penggunaan PLTB di
Indonesia adalah ketersediaannya yang rendah. Untuk mengatasi masalah ini maka
PLTB harus dioperasikan secara paralel dengan pembangkit listrik lainnya.
Pembangkit listrik lainnya bisa berbasis SEA atau pembangkit konvensional.
Walaupun sebuah PLTB hanya membangkit daya kurang dari 100 kW, kita bisa
membangun puluhan PLTB dalam satu daerah. Dengan memanfaatkan PLTB maka
kebutuhan akan bahan bakar fossil akan jauh berkurang. Selain mengurangi biaya
operasi, penggunaan PLTB akan meningkatkan jaminan pasokan energi suatu daerah.
Di daerah kepulauan seperti halnya NTB dan NTT, yang mana semua kebutuhan
energinya harus didatangkan dari daerah lain, keberadaan PLTB akan membantu
meningkatkan kemandiriannya. Di banding dengan diesel, PLTB mempunyai potensi
mengurangi emisi CO2 sebesar 700 gram untuk setiap kWh energi listrik yang
dibangkitkan.
Hambatan Pengembangan dan Aplikasi PLTB di Indonesia
Saat
ini, PLTB di Indonesia dapat dikatakan mulai berkembang dengan baik. Keberadaan
PLTB mulai menyaingi keberadaan PLTA dan PLTU yang telah ada di Indonesia sejak
dulu. Namun, pengembangan PLTB di Indonesia ini dinilai masih belum maksimal.
Ini terjadi karena ada beberapa hambatan dalam
pengembangannya.
Dari
survey dan studi literatur dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), pengembangan teknologi PLTB di Indonesia menghadapi beberapa masalah
penting yang harus dipecahkan karena menghambat pengembangan dan mengurangi
minat masyarakat untuk memakai energi angin ini.
Pertama,
rendahnya distribusi kecepatan angin di Indonesia. Daerah di Indonesia
rata-rata hanya memiliki kecepatan angin pada kisaran 2,5 – 6 m/s. Kedua, besarnya
fluktuasi kecepatan angin di Indonesia yang berarti profil kecepatan angin
selalu berubah secara drastis dengan interval yang cepat. Dengan rata-rata
kecepatan angin yang rendah, generator yang dipasang harus dirancang untuk
berputar secara optimal pada kecepatan angin yang rendah (yang kemungkinan
terjadinya paling besar). Masalahnya, karena fluktuasi kecepatan angin di
Indonesia cukup besar, kecepatan angin sering melonjak tinggi selama beberapa
saat. Jika kita merancang generator untuk berputar secara optimal pada
kecepatan angin rendah, generator tidak akan kuat menahan kecepatan angin yang
tinggi. Akibatnya generator akan rusak. Ketiga, ini
mungkin diakibatkan kayanya sumber daya alam penghasil energi seperti minyak
bumi, gas alam dan batu bara, sehingga kita dininabobokan oleh kekayaan yang
ada.
Peran pemerintah dalam pengembangan
PLTB sangatlah diperlukan. Harapan dari pengembang, pemerintah dapat memberikan
keleluasaan dan insentif untuk melakukan pembangunan PLTB yang berupa
kebijakan-kebijakan seperti pembebasan bea-import, penangguhan pajak, penetapan
harga beli yang menarik dan jika diperlukan subsidi.
Sejarah Perkembangan Pltb ~ Seninan >>>>> Download Now
ReplyDelete>>>>> Download Full
Sejarah Perkembangan Pltb ~ Seninan >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Sejarah Perkembangan Pltb ~ Seninan >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK